The good life consists in deriving happiness by using your signature strengths every day in the main realms of living – Prof. Martin Seligman
Sebagaimana hidup yang semata mencari kesuksesan itu terasa melelahkan, bekerja juga kerap terasa begitu. Tampaknya sudah jadi persepsi umum dan diterima sebagai sebuah kewajaran bahwa bekerja identik dengan kelelahan. “Mana ada bekerja yang tidak capek? Kalo ngga capek yang bukan kerja namanya.”
Sejak dulu kerja keras memang diyakini sebagai jurus sukses paling ampuh dalam dunia kerja. “Siapapun orangnya, apapun pekerjaannya, dia akan sukses jika mau bekerja keras”. Begitu prinsipnya. Namun saat jaman mulai menuntut kualitas, ada sebuah fakta objektif di dunia kerja yang mulai disadari para praktisi manajemen SDM : kualitas kinerja ternyata tidak berbanding lurus dengan kerja keras dan rasa lelah, dan orang-orang yang kualitas kerjanya unggul dalam setiap jenis profesi justru adalah orang-orang yang bahagia saat bekerja.
Kerja keras memang akan membuat kita mampu menyelesaikan tugas. Namun seorang pekerja yang kelelahan tidak akan mampu menjaga kualitas kinerjanya secara konsisten. Dan jika untuk sekedar mempertahankan kinerja saja sulit, maka lebih mustahil lagi membangun karir dalam jangka panjang pada pekerjaan yang secara rutin membuat kita kelelahan secara fisik dan mental. Tentu kerja keras adalah sebuah etos hidup yang senantiasa relevan. Namun kita mesti menggunakannya pada konteks yang tepat agar tidak kembali dihadapkan dengan pertanyaan di awal : mengapa untuk sukses, hidup justru kerap jadi semakin menekan, melelahkan, dan melemahkan?